A.
PENGERTIAN ETIKA
Kata etika
berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti karakter, watak kesusilaan
atau adat istiadat (kebiasaan). Sebagai suatu subyek, etika akan berkaitan
dengan konsep yang dimilki oleh individu ataupun kelompok untuk menilai apakah
tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau
baik.
Menurut Martin
(1993), etika didefinisikan sebagai “the discpline which can act as the
performance index or reference for our control system”. Dengan demikian, etika
akan memberikan semacam batasan maupun standar yang akan mengatur pergaulan
manusia didalam kelompok sosialnya. Dalam pengertiannya yang secara khusus
dikaitkan dengan seni pergaulan manusia, etika ini kemudian dirupakan dalam
bentuk aturan (code) tertulis yang secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan
prinsip-prinsip moral yang ada dan pada saat yang dibutuhkan akan bisa
difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang secara
logika-rasional umum (common sense) dinilai menyimpang dari kode etik. Dengan
demikian etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan “self control”,
karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan
kelompok social itu sendiri.
B.
PENTINGNYA ETIKA
Dalam pergaulan
hidup bermasyarakat, bernegara hingga pergaulan hidup tingkat internasional di
perlukan suatu system yang mengatur bagaimana seharusnya manusia bergaul.
Sistem pengaturan pergaulan tersebut menjadi saling menghormati dan dikenal dengan
sebutan sopan santun, tata krama, protokoler dan lain-lain. Maksud pedoman
pergaulan tidak lain untuk menjaga kepentingan masing-masing yang terlibat
agara mereka senang, tenang, tentram, terlindung tanpa merugikan kepentingannya
serta terjamin agar perbuatannya yang tengah dijalankan sesuai dengan adat
kebiasaan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan hak-hak asasi umumnya. Hal
itulah yang mendasari tumbuh kembangnya etika di masyarakat kita.
Menurut para
ahli maka etika tidak lain adalah aturan prilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan
antara sesamanya dan menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk.
Ada dua macam
etika yang harus kita pahami bersama dalam menentukan baik dan
buruknya
prilaku manusia :
1. ETIKA DESKRIPTIF, yaitu etika yang berusaha
meneropong secara kritis dan rasional sikap dan prilaku manusia dan apa yang
dikejar oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika
deskriptif memberikan fakta sebagai dasar untuk mengambil keputusan tentang
prilaku atau sikap yang mau diambil.
2. ETIKA NORMATIF, yaitu etika yang berusaha menetapkan
berbagai sikap dan pola prilaku ideal yang seharusnya dimiliki oleh manusia
dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika normatif memberi penilaian
sekaligus memberi norma sebagai dasar dan kerangka tindakan yang akan
diputuskan.
Etika secara
umum dapat dibagi menjadi :
a. ETIKA UMUM, berbicara mengenai kondisi-kondisi
dasar bagaimana manusia bertindak secara etis, bagaimana manusia mengambil
keputusan etis, teori-teori etika dan prinsip-prinsip moral dasar yang menjadi
pegangan bagi manusia dalam bertindak serta tolak ukur dalam menilai baik atau
buruknya suatu tindakan. Etika umum dapat dianalogkan dengan ilmu pengetahuan,
yang membahas mengenai pengertian umum dan teori-teori.
b. ETIKA
KHUSUS,
merupakan penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang
kehidupan yang
khusus. Penerapan ini bisa berwujud : Bagaimana saya mengambil
keputusan dan
bertindak dalam bidang kehidupan dan kegiatan khusus yang saya
lakukan, yang
didasari oleh cara, teori dan prinsip-prinsip moral dasar. Namun, penerapan itu
dapat juga berwujud : Bagaimana saya menilai perilaku saya dan orang lain dalam
bidang kegiatan dan kehidupan khusus yang dilatarbelakangi oleh kondisi yang
memungkinkan manusia bertindak etis : cara bagaimana manusia mengambil suatu keputusan
atau tidanakn, dan teori serta prinsip moral dasar yang ada dibaliknya.
ETIKA KHUSUS
dibagi lagi menjadi dua bagian :
a. Etika individual, yaitu menyangkut
kewajiban dan sikap manusia terhadap dirinya sendiri.
b. Etika sosial, yaitu berbicara mengenai
kewajiban, sikap dan pola perilaku manusia sebagai anggota umat manusia.
Perlu
diperhatikan bahwa etika individual dan etika sosial tidak dapat dipisahkan
satu sama lain dengan tajam, karena kewajiban manusia terhadap diri sendiri dan
sebagai anggota umat manusia saling berkaitan. Etika sosial menyangkut hubungan
manusia dengan manusia baik secara langsung maupun secara kelembagaan
(keluarga, masyarakat, negara), sikap kritis terhadpa pandangan-pandangan dunia
dan idiologi-idiologi maupun tanggung jawab umat manusia terhadap lingkungan
hidup.
SISTEM PENILAIAN ETIKA :
· Titik berat penilaian etika sebagai
suatu ilmu, adalah pada perbuatan baik atau jahat, susila atau tidak susila.
· Perbuatan atau kelakuan seseorang yang
telah menjadi sifat baginya atau telah mendarah daging, itulah yang disebut
akhlak atau budi pekerti. Budi tumbuhnya dalam jiwa, bila telah dilahirkan
dalam bentuk perbuatan namanya pekerti. Jadi suatu budi pekerti, pangkal
penilaiannya adalah dari dalam jiwa; dari semasih berupa angan-angan,
cita-cita, niat hati, sampai ia lahir keluar berupa perbuatan nyata.
Burhanuddin
Salam, Drs. menjelaskan bahwa sesuatu perbuatan di nilai pada 3 (tiga) tingkat
:
1.
Tingkat pertama, semasih belum lahir menjadi perbuatan, jadi
masih berupa rencana dalam hati, niat.
2. Tingkat
kedua, setelah lahir menjadi perbuatan nyata, yaitu pekerti.
3. Tingkat
ketiga, akibat atau hasil perbuatan tersebut, yaitu baik atau buruk.
DILEMA
ORIENTASI ETIKA VS ORIENTASI PROFIT
A.
Pedahuluan
Pada kondisi
bisnis yang penuh persaingan dewasa ini, berbisnis secara etis sekaligus
mencari laba maksimal sepertinya tidak mungkin dilakukan. Banyak pelaku bisnis
yang meninggalkan etika yaitu melakukan perbuatan-perbuatan menyimpang dari
nilai dan norma moral yang diterima umum dalam masyarakat. Sebagai contoh
misalnya melakukan kolusi dan nepotisme dengan pejabat pemerintah untuk
memenangkan lelang proyek bisnisnya. Ada keprihatinan banyak pihak akan berkembangnya
fenomena cara-cara bisnis yang tidak etis atau a-moral tersebut, bahkan ada
angapan bahwa praktik bisnis a-moral sebagai sesuatu yang sah jika ingin meraih
keuntungan yang melimpah. Nugroho (1996) menyebutkan bahwa perkembangan bisnis
yang begitu pesat seringkali memaksa pelaku bisnis demi mengejar keuntungan
bersinggungan dengan masalah etika, meskipun tanpa harus melangar hukum dan
peraturan.
Di dalam
praktik bisnis tidak ada seorang pebisnis pun yang ingin menderita rugi, karena
laba merupakan basis kelangsungan hidup perusahaan. Hal ini seperti yang
dinyatakan oleh Suseno (1994) bahwa pandangan pelaku bisnis adalah prinsip ekonomi
yaitu keinginan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dengan
pengorbanan yang sekecil-kecilnya, yang mendorong pebisnis melakukan praktik
bisnis yang curang. Berbagai cara ditempuh untuk memperoleh keuntungan yang
sebanyak-banyaknya. Diversifikasi bisnis, usaha monopoli dan hak istimewa dari
pemerintah banyak dilakukan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Bahkan
kadang-kadang menekan biaya produksi serendah mungkin dengan mengabaikan
hak-hak pekerja, jaminan sosial, keselamatan kerja dan ketentuan upah minimum.
Oleh karena itu penerapan konsep bisnis yang berorientasi pada
kesejahteraan
masyarakat tampak masih jauh dari harapan. Masalah yang muncul,
sudah begitu
parahkah praktik dunia bisnis kita?.
B. Orientasi Bisnis di Era Global
Gelombang
globalisasi telah melanda berbagai sektor berkembang pesat berdampak luas
bisnis. Kinichi Ohmae (1995) menyatakan bahwa akibat globalisasi, batas-batas
antar negara menjadi tidak begitu penting lagi. Perdagangan bebas AFTA untuk
negara-negara Asia tenggara yang dimulai 2003 dan APEC tahun 2020 diperkirakan
akan menuntut pergeseran paradigma dalam berbisnis, yaitu bahwa dimensi etika
dalam dunia bisnis menjadi salah satu kunci utama dalam berbisnis.
Globalisasi
dalam berbagai bidang akan mengakibatkan semakin banyak hal-hal yang uncontrollable
bagi perusahaan, bahkan oleh pemerintah sekalipun. Eksistensi bisnis
tertentu di Indonesia yang selama ini karena adanya dukungan orang kuat dan hak-hak
istimewa lainnya, nantinya tidak bisa menolak menghadapi tekanan internasional.
Interdependensi antar negara menjadi semakin besar. Persaingan bisnis dengan
aturan main yang bersifat global seperti ketentuan world trade organization (WTO)
dan international standards organization (ISO) tidak bisa lagi diabaikan.
Tekanan internasional seperti tentang perburuhan, human right, dan keadilan
akan menjadi persyaratan dalam berbisnis.
C. Etika dan Moralitas
Untuk memahami
apakah etika, kita perlu terlebih dahulu membedakannya dengan moralitas.
Moralitas adalah sistem nilai tentang bagaimana ita harus hidup secara baik
sebagai manusia. Sistem nilai terkandung dalam ajaran yang berbentuk
petuah-petuah, nasihat, wejangan, peraturan dan perintah yang diwariskan secara
turun temurun melalui agama atau kebudayaan tertentu tentang bagaimana manusia
harus hidup dengan baik agar mereka benar-benar menjadi manusia yang baik.
Moralitas merupakan tradisi kepercayaan, dalam agama atau kebudayaan tentang
yang baik atau yang buruk. Moralitas memberi manusia petunjuk konkret tentang
bagaimana ia harus hidup, bagaimana ia harus bertindak, dalam hidup ini sebagai
manusia yang baik dan bagaimana harus menghindari perilaku-perilaku yang buruk.
Lain dengan
moralitas, etika harus dipahami sebagai sebuah cabang filsafat yang berbeda
mengenai nilai dan norma moral yang menentukan perilaku manusia dalam hidupnya.
Sebagai cabang filsafat, etika sangat menekankan pada pendekatan yang kritis
dalam melihat nlai dan norma moraltersebut serta permasalahan yang timbul dalam
kaitan dengan nilai dan norma moral tersebut.
Etika adalah
refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma moral yang terwujud dalam
sikap dan perilaku hidup manusia, baik secara pribadi maupun kelompok. Karena
etika merupakan refleksi kritis terhadap moralitas maka etika tidak bermaksud
untuk bertindak sesuai moralitas begitu saja. Etika menghimbau orang untuk
bertindak sesuai dengan moralitas, tetapi bukan karena diperintahkan oleh nenek
moyang atau guru, melainkan karena ia sendiri tahu bahwa hal itu memang baik
bagi dirinya dan bukan sekedar ikut-ikutan. Ia sendiri sadar secara kritis
bahwa tindakan seperti itu baik bagi dirinya dan bagi masyarakat karena alasan-alasan
yang rasional.
D. Orientasi Profitabilitas versus orientasi Etis dalam
Bisnis
Pandangan
pebisnis sering dihadapkan pada suatu dilema antara pilihan berbisnis dengan
orientasi priofit atau berbisnis secara etis. Sedangkan pilihan lain yaitu
bisnis yang berorientasi profit sekaligus etis, yang selama ini sepertinya
sulit dilakukan, sebab kedua hal tersebut lebih sebagai pilihan orientasi yang mutually
exclusive atau saling menghilangkan dan tidak sejalan satu dengan
lainnya. Apabila laba yang sebesar-besarnya yang ingin dicapai, maka
kemungkinan harus mengabaikan etika, sebaliknya jika lebih mengutamakan etika
maka mustahil diperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Dan ketika bisnis
secara etis masih sejalan dengan orientasi profit karena biayanya tidak besar
maka kemungkinan pelaku bisnis masih bersedia berbisnis secara etis. Namun jika
harus dihadapkan pada pilihan yang dilematis antara profit dan etika, maka
fenomena yang ada
memaksa
pebisnis pada pilihan yang mengutamakan profit, karena keuntungan mutlak
diperlukan untuk menjaga kelangsungan hidup dan pertumbuhan bisnisnya.
Diakui oleh
banyak pebisnis sangatlah sulit untuk memperoleh win-win solution sehingga
pebisnis memperoleh keuntungan sekaligus berdimensi etis. Namun apabila
perdagangan bebas telah berjalan sepenuhnya, akan terjadi perubahan
paradigma berbisnis secara bertahap. Dimensi etika dalam bisnis menjadi
kunci keberhasilan barang dan jasa yang ditawarkan bisa diterima atau tidak
diterima oleh konsumen. Suatu cara berbisnis tidak etis yang selama ini masih
bisa berjalan sukses karena berbagai jaminan dari penguasa tertentu, akan
mendapat kecaman, tekanan dan reaksi internasional. Bahkan kecenderungan
perilaku konsumen di pasar global bersedia membeli produk dengan
pertimbangan etika.
Pasar
internasional akan menolak produk dari perusahaan-perusahaan yang tidak bersertifikat
ISO karena mengabaikan masalah perburuhan, human right dan keadilan. Oleh
karena itu ke depan bisnis yang berdimensi etis dan profitabilitas harus
diupayakan bisa berjalan secara bersama-sama atau go hand in hand. Caccese
(1997) menyebutkan beberapa alasan mengapa banyak perusahaan yang memiliki
orientasi laba (profit driven companies) menaruh perhatian besar terhadap etika
bisnis yaitu: (1) adanya tekanan dari konsumen, (2) kompetisi yang ketat
sehingga being ethical is a clever marketing strategy, (3) perubahan
nilai sosial yang lebih mengutamakan orang, baru kemudian keuntungan. Ia mengemukakan
bahwa beberapa kasus runtuhnya reputasi perusahaan karena tindak tidak etis
akhirnya mengakibatkan sejumlah kerugian finansial yang amat besar. Penelitian
Lee dan Yoshihara (1997) tentang Business ethics of Korea and Japanese Manager,
menemukan gambaran yang sangat jelas pandangan pebisnis tentang pentingnya
etika dalam dunia usaha. Mereka menyimpulkan bahwa tindakan etis dalam bisnis
sangat ditentukan oleh: (a) nilai pribadi pebisnis (57,6% jawaban manajer
Korea, dan 60,8% Jepang), dan (b) adanya keyakinan bahwa menjalankan bisnis
secara etis dalam jangka panjang akan menguntungkan (81% jawaban manajer Korea,
dan 63% responden Jepang).
E. Sifat Etika Bisnis
Apakah suatu
praktik bisnis bisa dikatakan berdimensi etis atau tidak etis bisa dikaji
dengan memahami esensi dari etika bisnis dari pandangan utilitariabism (kemanfaatan),
relativism (relativitas) dan legalism (legalitas). Menurut
pandangan utilitariabism, bisnis dinyatakan etis jika memberikan manfaat
kepada banyak orang. Tetapi pandangan ini akan akan berdampak adanya
pihak-pihak yang dikorbankan. Sebagai contoh pembangunan jalan layang jelas
menguntungkan, namun dalam keuntungan yang diperoleh pebisnis mempunyai dampak
berupa hilangnya kesempatan petani mengelola tanah produktif dan rusaknya keseimbangan
ekosistem.
Menurut
pandangan relativism, bisnis dinyatakan etis bila mayoritas berpandangan
setuju atau sesuatu yang bersifat umum dilakukan. Namun berbisnis secara etis
bukan merupakan pengikut relativism. Seprti misalnya banyak kasus bribery
dan extorsion yang keduanya merupakan kasus penyuapan. Pada bribery,
inisial penyuapan berasal dari pemberi (giver), sedangkan extorsion inisial
penyuapan dari pihak penerima (receiver). Demikian juga berbisnis secara
etis bukan pengikut pandangan legalism, karena berbisnis lebih dari
sekedar taat pada aturan hukum yang ada, namun ketentuan legal merupakan
persyaratan minimum dari suatu tindakan bisnis yang etis. Seperti misalnya
ketentuan upah minimum, maka perusahaan yang berdimensi etis akan memberikan
upah lebih dari jumlah tersebut yaitu pemberian upah yang berorientasi pada
terpenuhinya kebutuhan karyawan lebih luas dengan memperhatikan kemampuan
perusahaan secara jujur.
Etika bisnis
merupakan sesuatu yang berlaku secara universal, artinya esensi etika bisnis
berlaku di mana saja, kapan saja, dan siapa saja tanpa memandang jabatan, ras,
pendidikan, dan agama. Pertimbangan normatif yang menjadi basis apakah sesuatu
itu baik atau buruk mempunyai karakteristik memperhatikan sungguhsungguh seberapa
besar kerugian dan keuntungan bagi manusia, menentang upaya memperoleh
keuntungan sendiri (override self-interest), dan didasari pada pertimbangan
yang fair. Bisnis yang berdimensi etis akan selalu memprioritaskan sumber
daya manusia dari pada modal, menghargai martabat manusia, menghormati human
right, profit sharing dan lebih memperhatikan pihak yang lemah. Kennedy (1995)
dalam The rise and fall of great power menyatakan bahwa tantangan
terbesar manusia di abad-21 adalah menggunakan kekuatan teknologi untuk
memenuhi tuntutan kekuatan penduduk untuk membebaskan tiga perempat jumlah
penduduk dunia yang miskin.
Pihak yang
berperan besar dalam menentukan bisnis berorientasi etis atau tidak adalah
manajer. Dia berperan dalam menentukan kebijakan perusahaan, kode etik
perusahaan, serta pendidikan dan pelatihan etika bisnis bagi para pekerjanya. Berkembangnya
bisnis berdimensi etis akan memberi harapan meningkatnya kesejahteraan
masyarakat dengan tersedianya lebih banyak pilihan produk yang harganya murah,
kualitas dan pelayanan yang lebih baik, dan adanya jaminan keselamatan konsumen
yang memadai.
F. Perkembangan Etika Bisnis di Indonesia.
Etika bisnis
dapat dikatakan baru berkembang dalam satu dua dasawarsa terakhir ini. Jika
dibandingkan dengan etika khusus lainnya sebagai cabang etika terapan, seperti
etika politik, dan kedokteran, etika bisnis dirasakan masih sangat baru. Dengan
semakin gencarnya pembicaraan mengenai etika bisnis di masyarakat bersama
dengan hidupnya kegiatan bisnis di negera kita, mulai disadari bahwa etika
bisnis perlu mendapatkan perhatian yang lebih besar, khususnya dalam kerangka
perilaku bisnis di Indonesia.
Disadari bahwa
tuntutan dunia bisnis dan manajemen dewasa ini semakin tinggi dan keras yang
mensyaratkan sikap dan pola kerja yang semakin profesional. Persaingan yang makin
ketat juga juga mengharuskan pebisnis dan manajer untuk sungguh-sungguh menjadi
profesional jika mereka ingin meraih sukses. Namunyang masih sangat
memprihatinkan di Indonesia adalah bahwa profesi bisnis belum dianggap sebagai
profesi yang luhur. Hal ini disebabkan oleh pandangan masyarakat yang
menganggap bahwa bisnis adalah usaha yang kotor. Itulah sebabnya bisnis selalu
mendapatkan konotasi jelek, sebagai kerjanya orang-orang kotor yang disimbolkan
lintah darat yaitu orang yang mengeruk keuntungan secara tidak halal menghisap
darah orang lain. Kesan dan sikap masyarakat seperti ini sebenarnya disebabkan
oleh orang-orang bisnis itu sendiri yang memperlihatkan citra negatif tentang
bisnis di masyarakat. Banyak pebisnis yang menawarkan barang tidak bermutu
dengan harga tinggi, mengakibatkan citra bisnis menjadi jelek. Selain itu juga
banyak pebisnis yang melakukan kolusi dan nepotisme dalam memenangkan lelang,
penyuapan kepada para pejabat, pengurangan mutu untuk medapatkan laba maksimal,
yang semuanya itu merupakan bisnis a-moral dan tidak etis dan
menjatuhkan citra bisnis di Indonesia.
Rusaknya citra
bisnis di Indonesia tersebut juga diakibatkan adanya pandangan tentang bisnis
di masyarakat kita, yaitu pandangan praktis-realistis dan bukan pandangan ideal.
Pandangan praktis-realistis adalah pandangan yang bertumpu pada kenyataan yang
berlaku umum dewasa ini. Pandangan ini melihat bisnis sebagai suatu kegiatan di
antara manusia untuk memproduksi, menjual dan membeli barang dan jasa untuk
memperoleh keuntungan. Pada pandangan ini ditegaskan secara jelas bahwa tujuan
dari bisnis adalah mencari laba. Bisnis adalah kegiatan profit making,
bahkan laba dianggap sebagai satu-satunya tujuan pokok bisnis. Dasar pemikiran
mereka adalah keuntungan itu sah untuk menunjang kegiatan bisnis itu. Tanpa
keuntungan bisnis tidak mungkin berjalan. Friedman dalam De George (1986)
menyatakan bahwa dalam kenyataan keuntunganlah yang menjadi satu-satunya
motivasi dasar orang berbisnis. Karena orang berbisnis inginmencari keuntungan,
maka orang yang tidak mau mencari keuntungan bukan tempatnya di bidang bisnis.
Inilah suatu kenyataan yang tidak bisa disangkal. Lain halnya dengan pandangan
ideal, yaitu melakukan kegiatan bisnis karena dilatarbelakangi oleh idealisme
yang luhur.
Menurut
pandangan ini bisnis adalah suatu kegiatan di antara manusia yang menyangkut
memproduksi, menjual dan membeli barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat. Dasar pemikiran mereka adalah pertukaran timbal balik secara fair,
di antara pihak-pihak yang teribat. Maka yang ingin ditegakkan adalah keadilan
kumulatif dan keadilan tukarmenukar yang sebanding. Konosuke Matsushita dalam
Lee dan Yoshihara (1997) yang menyatakan bahwa tujuan bisnis sebenarnya
bukanlah mencari keuntungan, melainkan untuk melayani masyarakat. Sedangkan
keuntungan adalah simbol kepercayaan masyarakat atas kegiatan bisnis yang kita
lakukan. Fokus perhatian bisnis adalah memberi pelayanan dan pemenuhan
kebutuhan masyarakat dan kita akan memperoleh keuntungan dari pelayanan tersebut.
Pandangan bisnis ideal semacam ini, bisnis yang baik selalu memiliki misi
tertentu yang luhur dan tidak sekedar mencari keuntungan. Misi itu adalah
meningkatkan standar hidup masyarakat, dan membuat hisup manusia menjadi lebih
manusiawi melalui pemenuhan kebutuhan secara etis.
Melihat
pandangan bisnis di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa etika bisnis di
Indonesia masih jelek. Citra jelek tersebut disebabkan oleh pandangan pertama
yang melihat bisnis hanya sebagai sekedar mencari keuntungan. Tentu saja mencari
keuntungan sebagaimana dikatakan di atas. Hanya saja sikap yang timbul dari
kesadaran bahwa bisnis hanya mencari keuntungan telah mengakibatkan perilaku
yang menjurus menghalalkan segala cara demi mencari keuntungan yang sebesar-besarnya
tanpa mengindahkan nilai-nilai manusiawi lainnya seperti adanya persaingan
tidak sehat, monopoli, kecurangan, pemalsuan, eksploitasi buruh dan sebagainya.
Keuntungan adalah hal yang baik dan perlu untuk menunjang kegiatan bisnis
selanjutnya, bahkan tanpa keuntungan, misi luhur bisnis pun tidak akan tercapai.
Persoalan dihadapi di sini adalah bagaimana mengusahakan agar keuntungan yang
diperoleh itu wajar-wajar saja, karena yang utama adalah melayani dan memenuhi
kebutuhan masyarakat dengan tidak merugikan pihakpihak yang terkait dalam
bisnis ini. Perkembangan etika bisnis di Indonesia yang demikian itu, nampaknya
hingga sekarang masih jauh dari harapan.
G. Dampak Negatif Akibat Implementasi Bisnis yang Tidak Etis
di Indonesia
Pada dunia
bisnis, upaya untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya merupakan hal
yang wajar. Bahkan upaya ini akan menyemarakkan keseluruhan sistem perekonomian
nasional, dalam arti keuntungan yang sebesarbesarnya didapatkan dengan
melaksanakan berbagai kegiatan yang akan mempengaruhi perekonomian. Namun
sayangnya dalam kenyataan upaya mendapatkan keuntungan tersebut cenderung
mengabaikan etika bisnis.
Keuntungan yang
besar diperoleh dengan mengorbankan faktor-faktor bisnis lainnya. Perilaku
bisnis yang tidak etis untuk mendapatkan keuntungan maksimum akan berdampak
sebagai berikut.
1. Upah dan
kesejahteraan karyawan menurun. Seperti diketahui bahwa salah satu ukuran yang
digunakan untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya adalah memaksimumkan
hasil penjualan dan meminimumkan seluruh biaya perusahaan. Upaya meminimumkan
biaya perusahaan antara lain dengan menekan upah tenaga kerja. Akibatnya
kesejahteraan karyawan menjadi rendah dan tidak sesuai dengan kontribusi kerja
yang diberikan karyawan kepada perusahaan. Keadaan tersebut telah melanggar
etika bisnis.
2. Mematikan
usaha pemasok. Para pengusaha seringkali menekan harga faktor input yang
diperoleh dari para pemasok. Selain itu pengusaha cenderung menunda pembayaran.
Hal ini akan berakibat mematikan usaha dan mata pencaharian para pemasok.
Bahkan beberapa perusahaan besar berupaya mendirikan perusahaan baru atau
mengakuisisi perusahaan yang telah ada untuk menggantikan fungsi para pemasok.
Keadaan tersebut melanggar etika bisnis, karena etika yang benar adalah
mendorong perkembangan para pemasok yang dalam jangka panjang akan
menguntungkan perusahaan yang
bersangkutan.
3. Merusak
lingkungan. Untuk memaksimumkan keuntungan, masih banyak pengusaha yang
cenderung menggunakan input yang yang merusak lingkungan alam. Terutama hal ini
terjadi pada sektor usaha dan industri yang berorientasi pada bahan baku dari
alam. Selain itu juga proses produksi yang menghasilkan limbah industri yang
mencemari lingkungan. Ambisi para pengusaha ini melanggar etika bisnis karena
keuntungan yang didapatkan diperoleh dengan mengorbankan lingkungan hidup. Hal
ini berarti bahwa keuntungan yang diperolehnya didapat atas korban dari
masyarakat lainnya.
4. Merugikan
konsumen. Akibat ambisi pengusaha untuk mendapatkan keuntungan yang
sebesar-besarnya, masih banyak pengusaha yang merugikan konsumen, antara lain
dengan menurunkan kualitas barang dan jasa yang dihasilkan di bawah standar,
pengiriman barang yang lambat, dan menaikkan harga barang di atas norma-norma
kewajaran. Di dalam etika bisnis hal-hal tersebut melanggar moralitas usaha.
Selain itu, penyampaian output hasil usaha kepada para konsumen sering
dilaksanakan melalui pedagang perantara atau pengecer untuk memperluas jaringan
distribusi. Tindakan akuisisi jaringan pengecer (retailer) untuk kepentingan
produsen akan membunuh pedagang eceran dan hal ini melanggar etika bisnis.
5. Membohongi
bank dan lembaga pembiayaan lain. Masih banyak para konsultan yang dalam
membuat appraisal cenderung menyatakan feaseable, walaupun sebenarnya
tidak demikian. Masih banyak penilai yang menaikkan nilai aset yang bertujuan
untuk mendapatkan lebih banyak kredit. Masih banyak para akuntan yang tidak
jujur. Dengan hal-hal tersebut, maka bank dengan tanpa penelitian seksama
memberikan kredit melebihi dari yang seharusnya. Hal inipun merupakan tindakan
perusahaan yang melanggar etika bisnis.
Hal-hal di atas
merupakan contoh kegiatan yang cenderung melanggar etika bisnis . namun
demikian, pada saat ini tidak boleh pesimis dengan kemampuan etika dan moral
sebagian pengusaha kita yang berambisi untuk bisnis yang halal dan berkah.
Mereka sebagai pengusaha yang patriotik mengajak dan memperingatkan para
pengusaha lainnya untuk selalu berlaku etis dan moralis. Asosiasi pengusaha
seperti KADIN dapat menjadi pendorong ke
arah pelaksanaan etika dan moral usahawan yang lebih baik untuk itu perlu
adanya reorientasi baru di mana para pimpinan harus memahami etika dan moral
bisnis yang memadai.
H. Upaya Pengembangan Implementasi Etika Bisnis di Indonesia
Upaya
mengembangkan praktik bisnis yang etis di Indonesia dapat dilakukan melalui
berbagai cara yang elegan. Cara-cara tersebut antara lain meliputi:
1.
Mengembangkan lingkungan usaha yang etis. Menurut hasil penelitian di Korea dan
Jepang, praktik bisnis yang etis sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan
keluarga. Pengusaha yang berasal dari lingkungan keluarga yang tidak etis akan
menghasilkan usahawan yang tidak etis pula. Etika seseorang sangat ditentukan
oleh lingkungan kelauarga orang tersebutl. Usahawan dari lingkungan keluarga
yang baik dan moralis akan menjadi usahawan etis inti, yang diharapkan dapat
menyebar kepada usahawan lain. Pemerintah dan asosiasi pengusaha dapat membantu
menciptakan lingkungan usaha yang kondusif menuju peningkatan etika dan moral
usaha di Indonesia.
2. Menciptakan
kredo perusahaan yang etis dan moralis. Peranan kredo perusahaan yaitu
nilai-nilai falsafah perusahaan yang tercermin dalam visi dan misi bisnis akan
selalu mengingatkan pimpinan perusahaan dan seluruh staf terhadap etika dan
moral dalam bisnisnya.
3.
Mengembangkan etika melalui pendidikan manajemen. Pendidikan dan latihan manajemen
dapat menjadi sarana yang baik dalam peningkatan etika usaha di perusahaan. Di
sini perlu ditekankan bahwa pengusaha yang etis dan moralis akan dapat langgeng
dalam jangka panjang.
I. Penutup
Kajian ini
menggugah kesadaran kita bahwa keberhasilan bisnis dan manajemen tidak hanya
ditentukan oleh keberhasilan material berupa keuntungan dan pertumbuhan
perusahaan. Kenyataan membuktikan bahwa lingkup kegiatan bisnis dan manajemen
tidak hanya menyangkut lingkup ekonomi dan manajemen secara murni, melainkan
menyentuh juga aspek-aspek manusiawi dan etika. Oleh karena itu dalam setiap
keputusan dan tindakan bisnis, aspek-aspek manusiawi dan etika tersebut ikut
berperan di dalamnya.
Sejalan dengan
peran etika yang semakin penting dalam bisnis modern, maka para praktisi bisnis
harus melihat bahwa mereka memiliki peran yang sangat strategis dalam
menyelaraskan wajah dunia bisnis kita di masa depan. Semakin aspek-aspek
manusiawi dan etis diperhatikan dalam kegiatan bisnis, maka masyarakat dan
budaya kita juga akan menjadi semakin etis dan bermoral seperti yang
diharapkan.
Referensi
Caccese, Michael,S, 1997. Ethics and Financial
Analyst. Journal of Financial Analysis, Januari/February.
De George, Richard T, 1986. Business Ethics. New
York: McMilan Publishing Company.
Kennedy, Paul, 1995. Menyiapkan diri menghadapi
abad ke-21. Jakarta: Penerbit Yayasan Obor Indonesia.
Keraf, Sony,A,1991. Etika Bisnis: Membangun
Citra Bisnis Sebagai Profesi Luhur. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Filsafat.
Lee, Chong Yeong dan Yoshihara,Heideki, 1997. Business
Ethics of Korea and Japanese
manager. Journal of Business Ethics16:
7-21.
Nugroho, Rianto, 1996. Obrolan 17 Praktisi Bisnis Indonesia.Jakarta:
Penerbit Elex Media Komputindo.
Ohmae, Kinichi, 1995. The End of The Nation State.
New York. The Free Press