Kamis, 19 November 2015

perkembangan etika bisnis





A.       PENGERTIAN ETIKA

Kata etika berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat istiadat (kebiasaan). Sebagai suatu subyek, etika akan berkaitan dengan konsep yang dimilki oleh individu ataupun kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik.

Menurut Martin (1993), etika didefinisikan sebagai “the discpline which can act as the performance index or reference for our control system”. Dengan demikian, etika akan memberikan semacam batasan maupun standar yang akan mengatur pergaulan manusia didalam kelompok sosialnya. Dalam pengertiannya yang secara khusus dikaitkan dengan seni pergaulan manusia, etika ini kemudian dirupakan dalam bentuk aturan (code) tertulis yang secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada dan pada saat yang dibutuhkan akan bisa difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang secara logika-rasional umum (common sense) dinilai menyimpang dari kode etik. Dengan demikian etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan “self control”, karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan kelompok social itu sendiri.

B.        PENTINGNYA ETIKA

Dalam pergaulan hidup bermasyarakat, bernegara hingga pergaulan hidup tingkat internasional di perlukan suatu system yang mengatur bagaimana seharusnya manusia bergaul. Sistem pengaturan pergaulan tersebut menjadi saling menghormati dan dikenal dengan sebutan sopan santun, tata krama, protokoler dan lain-lain. Maksud pedoman pergaulan tidak lain untuk menjaga kepentingan masing-masing yang terlibat agara mereka senang, tenang, tentram, terlindung tanpa merugikan kepentingannya serta terjamin agar perbuatannya yang tengah dijalankan sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan hak-hak asasi umumnya. Hal itulah yang mendasari tumbuh kembangnya etika di masyarakat kita.

Menurut para ahli maka etika tidak lain adalah aturan prilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan antara sesamanya dan menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk.

Ada dua macam etika yang harus kita pahami bersama dalam menentukan baik dan
buruknya prilaku manusia :
1. ETIKA DESKRIPTIF, yaitu etika yang berusaha meneropong secara kritis dan rasional sikap dan prilaku manusia dan apa yang dikejar oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika deskriptif memberikan fakta sebagai dasar untuk mengambil keputusan tentang prilaku atau sikap yang mau diambil.
2. ETIKA NORMATIF, yaitu etika yang berusaha menetapkan berbagai sikap dan pola prilaku ideal yang seharusnya dimiliki oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika normatif memberi penilaian sekaligus memberi norma sebagai dasar dan kerangka tindakan yang akan diputuskan.

Etika secara umum dapat dibagi menjadi :
a. ETIKA UMUM, berbicara mengenai kondisi-kondisi dasar bagaimana manusia bertindak secara etis, bagaimana manusia mengambil keputusan etis, teori-teori etika dan prinsip-prinsip moral dasar yang menjadi pegangan bagi manusia dalam bertindak serta tolak ukur dalam menilai baik atau buruknya suatu tindakan. Etika umum dapat dianalogkan dengan ilmu pengetahuan, yang membahas mengenai pengertian umum dan teori-teori.
b. ETIKA KHUSUS, merupakan penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang
kehidupan yang khusus. Penerapan ini bisa berwujud : Bagaimana saya mengambil
keputusan dan bertindak dalam bidang kehidupan dan kegiatan khusus yang saya
lakukan, yang didasari oleh cara, teori dan prinsip-prinsip moral dasar. Namun, penerapan itu dapat juga berwujud : Bagaimana saya menilai perilaku saya dan orang lain dalam bidang kegiatan dan kehidupan khusus yang dilatarbelakangi oleh kondisi yang memungkinkan manusia bertindak etis : cara bagaimana manusia mengambil suatu keputusan atau tidanakn, dan teori serta prinsip moral dasar yang ada dibaliknya.

ETIKA KHUSUS dibagi lagi menjadi dua bagian :
a. Etika individual, yaitu menyangkut kewajiban dan sikap manusia terhadap dirinya sendiri.
b. Etika sosial, yaitu berbicara mengenai kewajiban, sikap dan pola perilaku manusia sebagai anggota umat manusia.

Perlu diperhatikan bahwa etika individual dan etika sosial tidak dapat dipisahkan satu sama lain dengan tajam, karena kewajiban manusia terhadap diri sendiri dan sebagai anggota umat manusia saling berkaitan. Etika sosial menyangkut hubungan manusia dengan manusia baik secara langsung maupun secara kelembagaan (keluarga, masyarakat, negara), sikap kritis terhadpa pandangan-pandangan dunia dan idiologi-idiologi maupun tanggung jawab umat manusia terhadap lingkungan hidup.

SISTEM PENILAIAN ETIKA :
· Titik berat penilaian etika sebagai suatu ilmu, adalah pada perbuatan baik atau jahat, susila atau tidak susila.
· Perbuatan atau kelakuan seseorang yang telah menjadi sifat baginya atau telah mendarah daging, itulah yang disebut akhlak atau budi pekerti. Budi tumbuhnya dalam jiwa, bila telah dilahirkan dalam bentuk perbuatan namanya pekerti. Jadi suatu budi pekerti, pangkal penilaiannya adalah dari dalam jiwa; dari semasih berupa angan-angan, cita-cita, niat hati, sampai ia lahir keluar berupa perbuatan nyata.

Burhanuddin Salam, Drs. menjelaskan bahwa sesuatu perbuatan di nilai pada 3 (tiga) tingkat :
1.    Tingkat pertama, semasih belum lahir menjadi perbuatan, jadi masih berupa rencana dalam hati, niat.
2. Tingkat kedua, setelah lahir menjadi perbuatan nyata, yaitu pekerti.
3. Tingkat ketiga, akibat atau hasil perbuatan tersebut, yaitu baik atau buruk.


DILEMA ORIENTASI ETIKA VS ORIENTASI PROFIT

A.            Pedahuluan
Pada kondisi bisnis yang penuh persaingan dewasa ini, berbisnis secara etis sekaligus mencari laba maksimal sepertinya tidak mungkin dilakukan. Banyak pelaku bisnis yang meninggalkan etika yaitu melakukan perbuatan-perbuatan menyimpang dari nilai dan norma moral yang diterima umum dalam masyarakat. Sebagai contoh misalnya melakukan kolusi dan nepotisme dengan pejabat pemerintah untuk memenangkan lelang proyek bisnisnya. Ada keprihatinan banyak pihak akan berkembangnya fenomena cara-cara bisnis yang tidak etis atau a-moral tersebut, bahkan ada angapan bahwa praktik bisnis a-moral sebagai sesuatu yang sah jika ingin meraih keuntungan yang melimpah. Nugroho (1996) menyebutkan bahwa perkembangan bisnis yang begitu pesat seringkali memaksa pelaku bisnis demi mengejar keuntungan bersinggungan dengan masalah etika, meskipun tanpa harus melangar hukum dan peraturan.

Di dalam praktik bisnis tidak ada seorang pebisnis pun yang ingin menderita rugi, karena laba merupakan basis kelangsungan hidup perusahaan. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Suseno (1994) bahwa pandangan pelaku bisnis adalah prinsip ekonomi yaitu keinginan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya, yang mendorong pebisnis melakukan praktik bisnis yang curang. Berbagai cara ditempuh untuk memperoleh keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Diversifikasi bisnis, usaha monopoli dan hak istimewa dari pemerintah banyak dilakukan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Bahkan kadang-kadang menekan biaya produksi serendah mungkin dengan mengabaikan hak-hak pekerja, jaminan sosial, keselamatan kerja dan ketentuan upah minimum. Oleh karena itu penerapan konsep bisnis yang berorientasi pada
kesejahteraan masyarakat tampak masih jauh dari harapan. Masalah yang muncul,
sudah begitu parahkah praktik dunia bisnis kita?. 

B. Orientasi Bisnis di Era Global
Gelombang globalisasi telah melanda berbagai sektor berkembang pesat berdampak luas bisnis. Kinichi Ohmae (1995) menyatakan bahwa akibat globalisasi, batas-batas antar negara menjadi tidak begitu penting lagi. Perdagangan bebas AFTA untuk negara-negara Asia tenggara yang dimulai 2003 dan APEC tahun 2020 diperkirakan akan menuntut pergeseran paradigma dalam berbisnis, yaitu bahwa dimensi etika dalam dunia bisnis menjadi salah satu kunci utama dalam berbisnis.

Globalisasi dalam berbagai bidang akan mengakibatkan semakin banyak hal-hal yang uncontrollable bagi perusahaan, bahkan oleh pemerintah sekalipun. Eksistensi bisnis tertentu di Indonesia yang selama ini karena adanya dukungan orang kuat dan hak-hak istimewa lainnya, nantinya tidak bisa menolak menghadapi tekanan internasional. Interdependensi antar negara menjadi semakin besar. Persaingan bisnis dengan aturan main yang bersifat global seperti ketentuan world trade organization (WTO) dan international standards organization (ISO) tidak bisa lagi diabaikan. Tekanan internasional seperti tentang perburuhan, human right, dan keadilan akan menjadi persyaratan dalam berbisnis.

C. Etika dan Moralitas
Untuk memahami apakah etika, kita perlu terlebih dahulu membedakannya dengan moralitas. Moralitas adalah sistem nilai tentang bagaimana ita harus hidup secara baik sebagai manusia. Sistem nilai terkandung dalam ajaran yang berbentuk petuah-petuah, nasihat, wejangan, peraturan dan perintah yang diwariskan secara turun temurun melalui agama atau kebudayaan tertentu tentang bagaimana manusia harus hidup dengan baik agar mereka benar-benar menjadi manusia yang baik. Moralitas merupakan tradisi kepercayaan, dalam agama atau kebudayaan tentang yang baik atau yang buruk. Moralitas memberi manusia petunjuk konkret tentang bagaimana ia harus hidup, bagaimana ia harus bertindak, dalam hidup ini sebagai manusia yang baik dan bagaimana harus menghindari perilaku-perilaku yang buruk.

Lain dengan moralitas, etika harus dipahami sebagai sebuah cabang filsafat yang berbeda mengenai nilai dan norma moral yang menentukan perilaku manusia dalam hidupnya. Sebagai cabang filsafat, etika sangat menekankan pada pendekatan yang kritis dalam melihat nlai dan norma moraltersebut serta permasalahan yang timbul dalam kaitan dengan nilai dan norma moral tersebut.

Etika adalah refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma moral yang terwujud dalam sikap dan perilaku hidup manusia, baik secara pribadi maupun kelompok. Karena etika merupakan refleksi kritis terhadap moralitas maka etika tidak bermaksud untuk bertindak sesuai moralitas begitu saja. Etika menghimbau orang untuk bertindak sesuai dengan moralitas, tetapi bukan karena diperintahkan oleh nenek moyang atau guru, melainkan karena ia sendiri tahu bahwa hal itu memang baik bagi dirinya dan bukan sekedar ikut-ikutan. Ia sendiri sadar secara kritis bahwa tindakan seperti itu baik bagi dirinya dan bagi masyarakat karena alasan-alasan yang rasional.

D. Orientasi Profitabilitas versus orientasi Etis dalam Bisnis
Pandangan pebisnis sering dihadapkan pada suatu dilema antara pilihan berbisnis dengan orientasi priofit atau berbisnis secara etis. Sedangkan pilihan lain yaitu bisnis yang berorientasi profit sekaligus etis, yang selama ini sepertinya sulit dilakukan, sebab kedua hal tersebut lebih sebagai pilihan orientasi yang mutually exclusive atau saling menghilangkan dan tidak sejalan satu dengan lainnya. Apabila laba yang sebesar-besarnya yang ingin dicapai, maka kemungkinan harus mengabaikan etika, sebaliknya jika lebih mengutamakan etika maka mustahil diperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Dan ketika bisnis secara etis masih sejalan dengan orientasi profit karena biayanya tidak besar maka kemungkinan pelaku bisnis masih bersedia berbisnis secara etis. Namun jika harus dihadapkan pada pilihan yang dilematis antara profit dan etika, maka fenomena yang ada
memaksa pebisnis pada pilihan yang mengutamakan profit, karena keuntungan mutlak diperlukan untuk menjaga kelangsungan hidup dan pertumbuhan bisnisnya.

Diakui oleh banyak pebisnis sangatlah sulit untuk memperoleh win-win solution sehingga pebisnis memperoleh keuntungan sekaligus berdimensi etis. Namun apabila perdagangan bebas telah berjalan sepenuhnya, akan terjadi perubahan paradigma berbisnis secara bertahap. Dimensi etika dalam bisnis menjadi kunci keberhasilan barang dan jasa yang ditawarkan bisa diterima atau tidak diterima oleh konsumen. Suatu cara berbisnis tidak etis yang selama ini masih bisa berjalan sukses karena berbagai jaminan dari penguasa tertentu, akan mendapat kecaman, tekanan dan reaksi internasional. Bahkan kecenderungan perilaku konsumen di pasar global bersedia membeli produk dengan pertimbangan etika.

Pasar internasional akan menolak produk dari perusahaan-perusahaan yang tidak bersertifikat ISO karena mengabaikan masalah perburuhan, human right dan keadilan. Oleh karena itu ke depan bisnis yang berdimensi etis dan profitabilitas harus diupayakan bisa berjalan secara bersama-sama atau go hand in hand. Caccese (1997) menyebutkan beberapa alasan mengapa banyak perusahaan yang memiliki orientasi laba (profit driven companies) menaruh perhatian besar terhadap etika bisnis yaitu: (1) adanya tekanan dari konsumen, (2) kompetisi yang ketat sehingga being ethical is a clever marketing strategy, (3) perubahan nilai sosial yang lebih mengutamakan orang, baru kemudian keuntungan. Ia mengemukakan bahwa beberapa kasus runtuhnya reputasi perusahaan karena tindak tidak etis akhirnya mengakibatkan sejumlah kerugian finansial yang amat besar. Penelitian Lee dan Yoshihara (1997) tentang Business ethics of Korea and Japanese Manager, menemukan gambaran yang sangat jelas pandangan pebisnis tentang pentingnya etika dalam dunia usaha. Mereka menyimpulkan bahwa tindakan etis dalam bisnis sangat ditentukan oleh: (a) nilai pribadi pebisnis (57,6% jawaban manajer Korea, dan 60,8% Jepang), dan (b) adanya keyakinan bahwa menjalankan bisnis secara etis dalam jangka panjang akan menguntungkan (81% jawaban manajer Korea, dan 63% responden Jepang).

E. Sifat Etika Bisnis
Apakah suatu praktik bisnis bisa dikatakan berdimensi etis atau tidak etis bisa dikaji dengan memahami esensi dari etika bisnis dari pandangan utilitariabism (kemanfaatan), relativism (relativitas) dan legalism (legalitas). Menurut pandangan utilitariabism, bisnis dinyatakan etis jika memberikan manfaat kepada banyak orang. Tetapi pandangan ini akan akan berdampak adanya pihak-pihak yang dikorbankan. Sebagai contoh pembangunan jalan layang jelas menguntungkan, namun dalam keuntungan yang diperoleh pebisnis mempunyai dampak berupa hilangnya kesempatan petani mengelola tanah produktif dan rusaknya keseimbangan ekosistem.

Menurut pandangan relativism, bisnis dinyatakan etis bila mayoritas berpandangan setuju atau sesuatu yang bersifat umum dilakukan. Namun berbisnis secara etis bukan merupakan pengikut relativism. Seprti misalnya banyak kasus bribery dan extorsion yang keduanya merupakan kasus penyuapan. Pada bribery, inisial penyuapan berasal dari pemberi (giver), sedangkan extorsion inisial penyuapan dari pihak penerima (receiver). Demikian juga berbisnis secara etis bukan pengikut pandangan legalism, karena berbisnis lebih dari sekedar taat pada aturan hukum yang ada, namun ketentuan legal merupakan persyaratan minimum dari suatu tindakan bisnis yang etis. Seperti misalnya ketentuan upah minimum, maka perusahaan yang berdimensi etis akan memberikan upah lebih dari jumlah tersebut yaitu pemberian upah yang berorientasi pada terpenuhinya kebutuhan karyawan lebih luas dengan memperhatikan kemampuan perusahaan secara jujur.

Etika bisnis merupakan sesuatu yang berlaku secara universal, artinya esensi etika bisnis berlaku di mana saja, kapan saja, dan siapa saja tanpa memandang jabatan, ras, pendidikan, dan agama. Pertimbangan normatif yang menjadi basis apakah sesuatu itu baik atau buruk mempunyai karakteristik memperhatikan sungguhsungguh seberapa besar kerugian dan keuntungan bagi manusia, menentang upaya memperoleh keuntungan sendiri (override self-interest), dan didasari pada pertimbangan yang fair. Bisnis yang berdimensi etis akan selalu memprioritaskan sumber daya manusia dari pada modal, menghargai martabat manusia, menghormati human right, profit sharing dan lebih memperhatikan pihak yang lemah. Kennedy (1995) dalam The rise and fall of great power menyatakan bahwa tantangan terbesar manusia di abad-21 adalah menggunakan kekuatan teknologi untuk memenuhi tuntutan kekuatan penduduk untuk membebaskan tiga perempat jumlah penduduk dunia yang miskin.

Pihak yang berperan besar dalam menentukan bisnis berorientasi etis atau tidak adalah manajer. Dia berperan dalam menentukan kebijakan perusahaan, kode etik perusahaan, serta pendidikan dan pelatihan etika bisnis bagi para pekerjanya. Berkembangnya bisnis berdimensi etis akan memberi harapan meningkatnya kesejahteraan masyarakat dengan tersedianya lebih banyak pilihan produk yang harganya murah, kualitas dan pelayanan yang lebih baik, dan adanya jaminan keselamatan konsumen yang memadai.

F. Perkembangan Etika Bisnis di Indonesia.
Etika bisnis dapat dikatakan baru berkembang dalam satu dua dasawarsa terakhir ini. Jika dibandingkan dengan etika khusus lainnya sebagai cabang etika terapan, seperti etika politik, dan kedokteran, etika bisnis dirasakan masih sangat baru. Dengan semakin gencarnya pembicaraan mengenai etika bisnis di masyarakat bersama dengan hidupnya kegiatan bisnis di negera kita, mulai disadari bahwa etika bisnis perlu mendapatkan perhatian yang lebih besar, khususnya dalam kerangka perilaku bisnis di Indonesia.

Disadari bahwa tuntutan dunia bisnis dan manajemen dewasa ini semakin tinggi dan keras yang mensyaratkan sikap dan pola kerja yang semakin profesional. Persaingan yang makin ketat juga juga mengharuskan pebisnis dan manajer untuk sungguh-sungguh menjadi profesional jika mereka ingin meraih sukses. Namunyang masih sangat memprihatinkan di Indonesia adalah bahwa profesi bisnis belum dianggap sebagai profesi yang luhur. Hal ini disebabkan oleh pandangan masyarakat yang menganggap bahwa bisnis adalah usaha yang kotor. Itulah sebabnya bisnis selalu mendapatkan konotasi jelek, sebagai kerjanya orang-orang kotor yang disimbolkan lintah darat yaitu orang yang mengeruk keuntungan secara tidak halal menghisap darah orang lain. Kesan dan sikap masyarakat seperti ini sebenarnya disebabkan oleh orang-orang bisnis itu sendiri yang memperlihatkan citra negatif tentang bisnis di masyarakat. Banyak pebisnis yang menawarkan barang tidak bermutu dengan harga tinggi, mengakibatkan citra bisnis menjadi jelek. Selain itu juga banyak pebisnis yang melakukan kolusi dan nepotisme dalam memenangkan lelang, penyuapan kepada para pejabat, pengurangan mutu untuk medapatkan laba maksimal, yang semuanya itu   merupakan bisnis a-moral dan tidak etis dan menjatuhkan citra bisnis di Indonesia.

Rusaknya citra bisnis di Indonesia tersebut juga diakibatkan adanya pandangan tentang bisnis di masyarakat kita, yaitu pandangan praktis-realistis dan bukan pandangan ideal. Pandangan praktis-realistis adalah pandangan yang bertumpu pada kenyataan yang berlaku umum dewasa ini. Pandangan ini melihat bisnis sebagai suatu kegiatan di antara manusia untuk memproduksi, menjual dan membeli barang dan jasa untuk memperoleh keuntungan. Pada pandangan ini ditegaskan secara jelas bahwa tujuan dari bisnis adalah mencari laba. Bisnis adalah kegiatan profit making, bahkan laba dianggap sebagai satu-satunya tujuan pokok bisnis. Dasar pemikiran mereka adalah keuntungan itu sah untuk menunjang kegiatan bisnis itu. Tanpa keuntungan bisnis tidak mungkin berjalan. Friedman dalam De George (1986) menyatakan bahwa dalam kenyataan keuntunganlah yang menjadi satu-satunya motivasi dasar orang berbisnis. Karena orang berbisnis inginmencari keuntungan, maka orang yang tidak mau mencari keuntungan bukan tempatnya di bidang bisnis. Inilah suatu kenyataan yang tidak bisa disangkal. Lain halnya dengan pandangan ideal, yaitu melakukan kegiatan bisnis karena dilatarbelakangi oleh idealisme yang luhur.

Menurut pandangan ini bisnis adalah suatu kegiatan di antara manusia yang menyangkut memproduksi, menjual dan membeli barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Dasar pemikiran mereka adalah pertukaran timbal balik secara fair, di antara pihak-pihak yang teribat. Maka yang ingin ditegakkan adalah keadilan kumulatif dan keadilan tukarmenukar yang sebanding. Konosuke Matsushita dalam Lee dan Yoshihara (1997) yang menyatakan bahwa tujuan bisnis sebenarnya bukanlah mencari keuntungan, melainkan untuk melayani masyarakat. Sedangkan keuntungan adalah simbol kepercayaan masyarakat atas kegiatan bisnis yang kita lakukan. Fokus perhatian bisnis adalah memberi pelayanan dan pemenuhan kebutuhan masyarakat dan kita akan memperoleh keuntungan dari pelayanan tersebut. Pandangan bisnis ideal semacam ini, bisnis yang baik selalu memiliki misi tertentu yang luhur dan tidak sekedar mencari keuntungan. Misi itu adalah meningkatkan standar hidup masyarakat, dan membuat hisup manusia menjadi lebih manusiawi melalui pemenuhan kebutuhan secara etis.

Melihat pandangan bisnis di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa etika bisnis di Indonesia masih jelek. Citra jelek tersebut disebabkan oleh pandangan pertama yang melihat bisnis hanya sebagai sekedar mencari keuntungan. Tentu saja mencari keuntungan sebagaimana dikatakan di atas. Hanya saja sikap yang timbul dari kesadaran bahwa bisnis hanya mencari keuntungan telah mengakibatkan perilaku yang menjurus menghalalkan segala cara demi mencari keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa mengindahkan nilai-nilai manusiawi lainnya seperti adanya persaingan tidak sehat, monopoli, kecurangan, pemalsuan, eksploitasi buruh dan sebagainya. Keuntungan adalah hal yang baik dan perlu untuk menunjang kegiatan bisnis selanjutnya, bahkan tanpa keuntungan, misi luhur bisnis pun tidak akan tercapai. Persoalan dihadapi di sini adalah bagaimana mengusahakan agar keuntungan yang diperoleh itu wajar-wajar saja, karena yang utama adalah melayani dan memenuhi kebutuhan masyarakat dengan tidak merugikan pihakpihak yang terkait dalam bisnis ini. Perkembangan etika bisnis di Indonesia yang demikian itu, nampaknya hingga sekarang masih jauh dari harapan.

G. Dampak Negatif Akibat Implementasi Bisnis yang Tidak Etis di Indonesia
Pada dunia bisnis, upaya untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya merupakan hal yang wajar. Bahkan upaya ini akan menyemarakkan keseluruhan sistem perekonomian nasional, dalam arti keuntungan yang sebesarbesarnya didapatkan dengan melaksanakan berbagai kegiatan yang akan mempengaruhi perekonomian. Namun sayangnya dalam kenyataan upaya mendapatkan keuntungan tersebut cenderung mengabaikan etika bisnis.

Keuntungan yang besar diperoleh dengan mengorbankan faktor-faktor bisnis lainnya. Perilaku bisnis yang tidak etis untuk mendapatkan keuntungan maksimum akan berdampak sebagai berikut.
1. Upah dan kesejahteraan karyawan menurun. Seperti diketahui bahwa salah satu ukuran yang digunakan untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya adalah memaksimumkan hasil penjualan dan meminimumkan seluruh biaya perusahaan. Upaya meminimumkan biaya perusahaan antara lain dengan menekan upah tenaga kerja. Akibatnya kesejahteraan karyawan menjadi rendah dan tidak sesuai dengan kontribusi kerja yang diberikan karyawan kepada perusahaan. Keadaan tersebut telah melanggar etika bisnis.
2. Mematikan usaha pemasok. Para pengusaha seringkali menekan harga faktor input yang diperoleh dari para pemasok. Selain itu pengusaha cenderung menunda pembayaran. Hal ini akan berakibat mematikan usaha dan mata pencaharian para pemasok. Bahkan beberapa perusahaan besar berupaya mendirikan perusahaan baru atau mengakuisisi perusahaan yang telah ada untuk menggantikan fungsi para pemasok. Keadaan tersebut melanggar etika bisnis, karena etika yang benar adalah mendorong perkembangan para pemasok yang dalam jangka panjang akan menguntungkan perusahaan yang
bersangkutan.
3. Merusak lingkungan. Untuk memaksimumkan keuntungan, masih banyak pengusaha yang cenderung menggunakan input yang yang merusak lingkungan alam. Terutama hal ini terjadi pada sektor usaha dan industri yang berorientasi pada bahan baku dari alam. Selain itu juga proses produksi yang menghasilkan limbah industri yang mencemari lingkungan. Ambisi para pengusaha ini melanggar etika bisnis karena keuntungan yang didapatkan diperoleh dengan mengorbankan lingkungan hidup. Hal ini berarti bahwa keuntungan yang diperolehnya didapat atas korban dari masyarakat lainnya.
4. Merugikan konsumen. Akibat ambisi pengusaha untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, masih banyak pengusaha yang merugikan konsumen, antara lain dengan menurunkan kualitas barang dan jasa yang dihasilkan di bawah standar, pengiriman barang yang lambat, dan menaikkan harga barang di atas norma-norma kewajaran. Di dalam etika bisnis hal-hal tersebut melanggar moralitas usaha. Selain itu, penyampaian output hasil usaha kepada para konsumen sering dilaksanakan melalui pedagang perantara atau pengecer untuk memperluas jaringan distribusi. Tindakan akuisisi jaringan pengecer (retailer) untuk kepentingan produsen akan membunuh pedagang eceran dan hal ini melanggar etika bisnis.
5. Membohongi bank dan lembaga pembiayaan lain. Masih banyak para konsultan yang dalam membuat appraisal cenderung menyatakan feaseable, walaupun sebenarnya tidak demikian. Masih banyak penilai yang menaikkan nilai aset yang bertujuan untuk mendapatkan lebih banyak kredit. Masih banyak para akuntan yang tidak jujur. Dengan hal-hal tersebut, maka bank dengan tanpa penelitian seksama memberikan kredit melebihi dari yang seharusnya. Hal inipun merupakan tindakan perusahaan yang melanggar etika bisnis.

Hal-hal di atas merupakan contoh kegiatan yang cenderung melanggar etika bisnis . namun demikian, pada saat ini tidak boleh pesimis dengan kemampuan etika dan moral sebagian pengusaha kita yang berambisi untuk bisnis yang halal dan berkah. Mereka sebagai pengusaha yang patriotik mengajak dan memperingatkan para pengusaha lainnya untuk selalu berlaku etis dan moralis. Asosiasi pengusaha seperti KADIN dapat menjadi  pendorong ke arah pelaksanaan etika dan moral usahawan yang lebih baik untuk itu perlu adanya reorientasi baru di mana para pimpinan harus memahami etika dan moral bisnis yang memadai.

H. Upaya Pengembangan Implementasi Etika Bisnis di Indonesia
Upaya mengembangkan praktik bisnis yang etis di Indonesia dapat dilakukan melalui berbagai cara yang elegan. Cara-cara tersebut antara lain meliputi:
1. Mengembangkan lingkungan usaha yang etis. Menurut hasil penelitian di Korea dan Jepang, praktik bisnis yang etis sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan keluarga. Pengusaha yang berasal dari lingkungan keluarga yang tidak etis akan menghasilkan usahawan yang tidak etis pula. Etika seseorang sangat ditentukan oleh lingkungan kelauarga orang tersebutl. Usahawan dari lingkungan keluarga yang baik dan moralis akan menjadi usahawan etis inti, yang diharapkan dapat menyebar kepada usahawan lain. Pemerintah dan asosiasi pengusaha dapat membantu menciptakan lingkungan usaha yang kondusif menuju peningkatan etika dan moral usaha di Indonesia.
2. Menciptakan kredo perusahaan yang etis dan moralis. Peranan kredo perusahaan yaitu nilai-nilai falsafah perusahaan yang tercermin dalam visi dan misi bisnis akan selalu mengingatkan pimpinan perusahaan dan seluruh staf terhadap etika dan moral dalam bisnisnya.
3. Mengembangkan etika melalui pendidikan manajemen. Pendidikan dan latihan manajemen dapat menjadi sarana yang baik dalam peningkatan etika usaha di perusahaan. Di sini perlu ditekankan bahwa pengusaha yang etis dan moralis akan dapat langgeng dalam jangka panjang.


I. Penutup
Kajian ini menggugah kesadaran kita bahwa keberhasilan bisnis dan manajemen tidak hanya ditentukan oleh keberhasilan material berupa keuntungan dan pertumbuhan perusahaan. Kenyataan membuktikan bahwa lingkup kegiatan bisnis dan manajemen tidak hanya menyangkut lingkup ekonomi dan manajemen secara murni, melainkan menyentuh juga aspek-aspek manusiawi dan etika. Oleh karena itu dalam setiap keputusan dan tindakan bisnis, aspek-aspek manusiawi dan etika tersebut ikut berperan di dalamnya.

Sejalan dengan peran etika yang semakin penting dalam bisnis modern, maka para praktisi bisnis harus melihat bahwa mereka memiliki peran yang sangat strategis dalam menyelaraskan wajah dunia bisnis kita di masa depan. Semakin aspek-aspek manusiawi dan etis diperhatikan dalam kegiatan bisnis, maka masyarakat dan budaya kita juga akan menjadi semakin etis dan bermoral seperti yang diharapkan.

Referensi
Caccese, Michael,S, 1997. Ethics and Financial Analyst. Journal of Financial Analysis, Januari/February.
De George, Richard T, 1986. Business Ethics. New York: McMilan Publishing Company.
Kennedy, Paul, 1995. Menyiapkan diri menghadapi abad ke-21. Jakarta: Penerbit Yayasan Obor Indonesia.
Keraf, Sony,A,1991. Etika Bisnis: Membangun Citra Bisnis Sebagai Profesi Luhur. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Filsafat.
Lee, Chong Yeong dan Yoshihara,Heideki, 1997. Business Ethics of Korea and Japanese
manager. Journal of Business Ethics16: 7-21.
Nugroho, Rianto, 1996. Obrolan 17 Praktisi Bisnis Indonesia.Jakarta: Penerbit Elex Media Komputindo.
Ohmae, Kinichi, 1995. The End of The Nation State. New York. The Free Press

manajemen krisis karena bencana alam

Kasus Bandara Soetta Terbakar, Polisi Bantu Susun SOP Manajemen Krisis
Kasus Bandara Soetta Terbakar, Polisi Bantu Susun SOP Manajemen Krisis

Bandara Internasional Soekarno Hatta, Tangerang, Banten. ANTARA/Widodo S. Jusuf
TEMPO.CO, Jakarta - Kebakaran di JW Sky Lounge di Terminal 2 Bandara Soekarno-Hatta (Soetta) membuat Kementerian Perhubungan bereaksi cepat. Kementerian meminta setiap bandara memiliki standard operating procedure (SOP) for crisis management.

Terkait dengan hal itu, Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Inspektur Jenderal Tito Karnavian mengatakan siap membantu penyusunan SOP itu. "Kami sudah bicara dengan Angkasa Pura II dan siap mendukung serta menyusun SOP itu," kata Tito, Selasa, 7 Juli 2015.

SOP ini, kata Tito, bisa berisi pembentukan tim kecil yang harus segera bertindak ketika terjadi situasi krisis. "Dari menginventarisasi peristiwanya, pengorganisasian cara bertindak, sampai siapa berbuat apa," katanya.

Dengan adanya SOP ini, Tito yakin penanganan terhadap situasi krisis bisa lebih baik. "Peristiwa dapat ditangani lebih cepat. Seperti mitigasi," ujarnya.

Apalagi Soekarno-Hatta merupakan salah satu bandara berpengaruh di Indonesia. "Bandara ini merupakan pusat. Jika terjadi sesuatu, akan memberi efek bola salju kepada bandara lain," kata Tito.

Contohnya kebakaran pada Minggu lalu yang membuat puluhan penerbangan terganggu. Pesawat dari Surabaya menuju Jakarta pun tak bisa diberangkatkan.
analisis
Upaya Penanggulangan Krisis
Manajemen dapat menanggulangi dengan melakukan langkah-langkah berikut ini.
       1. Peramalan krisis (forcasting)
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, manajemen krisis bertujuan untuk menekan faktor-faktor resiko dan faktor ketidakpastian seminimal mungkin. Setiap perusahaan menghadapi masa depan yang selalu berubah dan arah perubahannya tidak bisa diduga (uncertainty condition). Untuk itu peramalan terhadap krisis (forcasting) perlu dilakukan pada situasi pra-krisis. Hal ini dapat dilakukan dengan mengidentifikasi dan menganalisa peluang (opportunity) dan ancaman  (threat) yang terjadi di dunia bisnis. Untuk memudahkannya manajemen dapat melakukan peramalan (forcasting) dengan memetakan krisis pada peta barometer krisis.
2  Pencegahan krisis (prevention)
Langkah-langkah pencegahan sebaiknya diterapkan pada situasi pra-krisis. Untuk mencegah kemungkinan terjadinya krisis. Namun, jika krisis tidak dapat dicegah, manajemen harus mengupayakan agar krisis tidak jika kelak krisis betul-betul terjadi. Untuk itu, begitu terlihat tanda-tanda krisis, segera arahkan ke tahap penyelesaian.
3  Intervensi krisis (intervantion)
Langkah intervensi dalam situasi krisis bertujuan untuk mengakhiri krisis. Pengendalian terhadap kerusakan (damage control) dilakukan pada tahap akut. Langkah-langkah pengendalian terhadap kerusakan diawali dengani identifikasi, isolasi/pengucilan, membatasi/limitation, menekan/reduction, dan dan diakhiri dangan pemulihan/recovery.

Krisis tidak selalu bersifat negatif tetapi juga dapat berkembang ke arah yang positif. Oleh karena itu, yang harus dikelola adalah faktor resiko dan faktor ketidakpastiannya agar kelangsungan perusahaan dapat diperkirakan.
sumber
http://prfirst.blogspot.co.id/2011/01/manajemen-krisis.html

kasus whistle blowing

Contoh Kasus Whistle blowing

Whistle blowing internal dan Whistle blowing eksternal

Whistle blowing
Dalam dunia bisnis kecurangan merupakan hal biasa, tetapi hal ini sangat merugikan perusahaan dan karyawan lain tentunya. Kecurangan seperti ini harus dicegah agar kerugian moral dan materil dapat dihindari. Cara pencegahannya dapt dilakukan dengan whistle blowing. Whistle blowing adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang karyawan untuk membocorkan kecurangan entah yang dilakukan oleh perusahaan atau atasannya kepada pihak lain. Pihak yang dilapori itu bisa saja atasan yang lebih tinggi atau masyarakat luas.
Ada dua macam whistle blowing :

a.  Whistle blowing internal
Hal ini terjadi ketika seorang atau beberapa orang karyawan tahu mengenai kecurangan yang dilakukan oleh karyawan lain atau kepala bagiannya kemudian melaporkan kecurangan itu kepada pimpinan perusahaan yang lebih tinggi. Motivasi utama dari whistle blowing adalah motivasi moral: demi mencegah kerugian bagi perusahaan tersebut
Motivasi moral ada dua macam motivasi moral baik dan motivasi moral buruk.
Untuk mencegah kekeliruan ini dan demi mengamankan posisi moralnya, karyawan pelapor perlu melakukan beberapa langkah:
Cari peluang kemungkiann dan cara yang paling cocok tanpa menyinggung perasaan untuk menegur sesama karyawan atau atasan itu.
Karyawan itu perlu mencari dan mengumpulkan data sebanyak mungkin sebagai pegangan konkret untuk menguatkan posisinya, kalau perlu disertai dengan saksi-saksi kuat. 

b. Whistle blowing eksternal
    Menyangkut kasus dimana seorang pekerja mengetahui kecurangan yang dilakukan perusahaannnya lalu membocorkannya kepada masyarakat karena dia tahu bahwa kecurangan itu akan merugikan masyarakat.
Misalnya; manipulasi kadar bahan mentah dalam formula sebuah produk.
Motivasi utamanya adalah mencegah kerugian bagi masyarakat atau konsumen.
Pekerja ini punya motivasi moral untuk membela kepentingan konsumen karena dia sadar semua konsumen adalah manusia yang sama dengan dirinya dan karena itu tidak boleh dirugikan hanya demi memperoleh keuntungan.
analisis
Menurut saya dari kasus di atas dapat disimpulkan bahwa memaparkan atau mengungkapkan sesuatu hal yang menyimpang ataupun salah itu adalah BENAR , tetapi ada hal yang seharusnya disampaikan ke publik dan ada hal juga yang tidak harus disampaikan kepada publik, pada kasus ini seharusnya polri menyelesaikan sendiri masalah apa yang terjadi didalam badan polri, kenapa sampai Mantan Kabareskrim susno duadji yang jelas- jelas memegang posisi penting dalam polri malah membeberkannya dan apakah mungkin kalau tidak ada kasus intern yang terjadi susno akan membeberkannya, maka polri harus lebih jelas lagi mencari akar dari masalah ini,  dan seharusnya ada batasan tertentu mengenai masalah – masalah yang dipublish.
Sekian mengenai pendapat saya, ini hanya sebuah pendapat singkat, mohon maaf apabila terdapat kesalahan, Trims~~
Sumber :
http://oeyyulia.blogspot.com/2012/01/norma-dan-etika-dalam-lingkup-bisnis.html
Velasquez, Manuel G. ETIKA BISNIS Konsep dan Kasus, Edisi 5, Penertbit Andi, Yogyakarta.
http://cicikris.blogspot.com/2012/10/whistle-blowing-internal-dan-whistle.html

Kamis, 05 November 2015

contoh krisis dalam profesi akuntansi

Sejarah Perusahaan
Enron Corporation adalah sebuah perusahaan energi Amerika yang berbasis di Houston, Texas, Amerika Serikat. Enron jejak akarnya adalah Perusahaan Gas Alam Utara, yang dibentuk pada tahun 1932, di Omaha, Nebraska. Enron merupakan perusahaan dari penggabungan antara InterNorth (penyalur gas alam melalui pipa) dengan Houston Natural Gas.
Kedua perusahaan ini bergabung pada tahun 1985 oleh oleh Kenneth Lay. Pada tahun 1997 Enron membeli perusahaan pembangkit listrik “Portland General Electric Corp” senilai $ 2 milyar. Sebelum tahun 1997 berakhir, manajemen mengubah perusahaan tersebut menjadi “Enron Capital and Trade Resources” yang menjadi perusahaan Amerika terbesar yang memperjualbelikan gas alam serta listrik.

Skandal Perusahaan Enron
Enron mengumumkan kebangkrutannya pada akhir tahun 2001. Bangkrutnya Enron dianggap bukan lagi semata-mata sebagai sebuah kegagalan bisnis, melainkan sebuah skandal yang multidimensional, yang melibatkan politisi dan pemimpin terkemuka di Amerika Serikat.
Dalam waktu sangat singkat perusahaan yang pada awal tahun 2001 sebelum kebangkrutannya masih membukukan pendapatan US$ 100 miliar, ternyata tiba-tiba melaporkan kebangkrutannya kepada otoritas pasar modal. Sebagai entitas bisnis, nilai kerugian Enron diperkirakan mencapai US$ 50 miliar. Sementara itu, pelaku pasar modal kehilangan US$ 32 miliar dan ribuan pegawai Enron harus menangisi amblasnya dana pensiun mereka tak kurang dari US$ 1 miliar. Saham Enron terjun bebas hingga berharga US$ 45 sen. Padahal sebelumnya pada Agustus 2000 masih berharga US$ 90 per lembar.
Dalam proses pengusutan sebab-sebab kebangkrutan itu Enron dicurigai telah melakukan praktek window dressing yaitu dengan cara penundaan pencatatan piutang karena kasnya digunakan untuk kepentingan pribadi. Manajemen Enron telah menggelembungkan (mark up) pendapatannya US$ 600 juta, dan menyembunyikan utangnya sejumlah US$ 1,2 miliar.

Kronologi Kasus Perusahaan Enron
Board of Director (dewan direktur, direktur eksekutif dan direktur non eksekutif) membiarkan kegitan-kegitan bisnis tertentu mengandung unsur konflik kepentingan dan mengijinkan terjadinya transaksi-transaksi berdasarkan informasi yang hanya bisa di akses oleh pihak dalam perusahaan (insider trading), termasuk praktek akuntansi dan bisnis tidak sehat sebelum hal tersebut terungkap kepada publik.
Mantan Chief Audit Executif Enron (Kepala internal audit) semula adalah partner KAP Andersen yang di tunjuk sebagai akuntan publik perusahaan. Direktur keuangan Enron berasal dari KAP Andersen. Sebagian besar Staf akunting Enron berasal dari KAP Andersen.
Salah seorang eksekutif Enron di laporkan telah mempertanyakan praktek akunting perusahaan yang dinilai tidak sehat dan mengungkapkan kekhawatiran berkaitan dengan hal tersebut kepada CEO dan partner KAP Andersen pada pertengahan 2001. CEO Enron menugaskan penasehat hukum perusahaan untuk melakukan investigasi atas kekhawatiran tersebut tetapi tidak memperkenankan penasehat hukum untuk mempertanyakan pertimbangan yang melatarbelakangi akuntansi yang dipersoalkan. Hasil investigasi oleh penasehat hukum tersebut menyimpulkan bahwa tidak ada hal-hal yang serius yang perlu diperhatikan.
Pada tanggal 16 Oktober 2001, Enron menerbitkan laporan keuangan triwulan ketiga. Dalam laporan itu disebutkan bahwa laba bersih Enron telah meningkat menjadi $393 juta, naik $100 juta dibandingkan periode sebelumnya. CEO Enron, Kenneth Lay, menyebutkan bahwa Enron secara berkesinambungan memberikan prospek yang sangat baik. Ia juga tidak menjelaskan secara rinci tentang pembebanan biaya akuntansi khusus (special accounting charge/expense) sebesar $1 miliar yang sesungguhnya menyebabkan hasil aktual pada periode tersebut menjadi rugi $644 juta. Para analis dan reporter kemudian mencari tahu lebih jauh mengenai beban $1 miliar tersebut, dan ternyata berasal dari transaksi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang didirikan oleh CFO Enron.
Pada tanggal 2 Desember 2001 Enron mendaftarkan kebangkrutan perusahaan ke pengadilan dan memecat 5000 pegawai. Pada saat itu terungkap bahwa terdapat hutang perusahaan yang tidak di laporkan senilai lebih dari satu milyar dolar. Dengan pengungkapan ini nilai investasi dan laba yang di tahan (retained earning) berkurang dalam jumlah yang sama.
Enron dan KAP Andersen dituduh telah melakukan kriminal dalam bentuk penghancuran dokumen yang berkaitan dengan investigasi atas kebangkrutan Enron (penghambatan terhadap proses peradilan). KAP Andersen diberhentikan sebagai auditor Enron pada pertengahan juni 2002. Tanggal 14 Maret 2002 departemen kehakiman Amerika memvonis KAP Andersen bersalah atas tuduhan melakukan penghambatan dalam proses peradilan karena telah menghancurkan dokumen-dokumen yang sedang di selidiki. KAP Andersen terus menerima konsekwensi negatif dari kasus Enron berupa kehilangan klien, pembelotan afiliasi yang bergabung dengan KAP yang lain dan pengungkapan yang meningkat mengenai keterlibatan pegawai KAP Andersen dalam kasus Enron.

Kesimpulan
Dari kasus ini Auditor melanggar kode etik Tanggung Jawab Profesi, karena auditor telah memanipulasi laporan keuangan untuk menunjukkan seolah-olah kinerja perusahaan baik. Hal ini terjadi akibat keegoisan satu pihak terhadap pihak lain. Hal ini buah dari sebuah ketidakjujuran, kebohongan atau dari praktik bisnis yang tidak etis yang berakibat hutang dan sebuah kehancuran yang menyisakan penderitaan bagi banyak pihak disamping proses peradilan dan tuntutan hokum
Selain itu Auditor melanggar kode etik sikap profesionalismenya sebagai akuntan independen, karena menghancurkan dokumen-dokumen penting yang berkaitan dengan kasus Enron dan menerbitkan laporan audit yang salah dan meyesatkan.

Sumber :
http://kinantiarin.wordpress.com/etika-profesi-akuntan/
http://albantantie.blogspot.com/2013/10/kode-etik-profesi-akuntansi.html

krisis dalam profesi akuntansi

Etika dalam Kantor Akuntan Publik
1.   Etika Bisnis Akuntan Publik
Etika profesional dikeluarkan oleh organisasi bertujuan untuk mengatur perilaku para angota dalam menjalankan praktek profesinya. Dalam menjalankan profesinya seorang akuntan di Indonesia diatur oleh suatu kode etik profesi dengan nama kode etik Ikatan Akuntan Indonesia yang merupakan tatanan etika dan prinsip moral yang memberikan pedoman kepada akuntan untuk berhubungan dengan klien, sesama anggota profesi dan juga dengan masyarakat. Selain itu dengan kode etik akuntan juga merupakan alat atau sarana untuk klien, pemakai laporan keuangan atau masyarakat pada umumnya, tentang kualitas atau mutu jasa yang diberikannya karena melalui serangkaian pertimbangan etika sebagaimana yang diatur dalam kode etik profesi. Kasus enron, xerok, merck, vivendi universal dan bebarapa kasus serupa lainnya  telah membuktikan  bahwa etika sangat diperlukan dalam bisnis. Tanpa etika di dalam bisnis, maka perdaganan tidak akan berfungsi dengan baik. Kita harus mengakui bahwa akuntansi adalah bisnis, dan tanggung jawab utama dari bisnis adalah memaksimalkan keuntungan atau nilai shareholder. Tetapi kalau hal ini dilakukan tanpa memperhatikan etika, maka hasilnya sangat merugikan.
Suatu organisasi profesi memerlukan etika profesional karena organisasi profesi ini menyediakan jasa kepada masyarakat untuk meneliti lebih lanjut mengenai suatu hal yang memerlukan penelitian lebih lanjut dimana akan menghasilkan informasi yang lebih akurat dari hasil penelitian. Jasa seperti ini memerlukan kepercayaan lebih serius dari mata masyarakat umum terhadap mutu yang akan diberikan oleh jasa akuntan. Agar kepercayaan masyarakat terhadap mutu jasa akuntan publik semakin tinggi, maka organisasi profesional ini memerlukan standar tertentu sebagai pedoman dalam menjalankan kegiatannya.
2.   Tanggung Jawab Sosial Kantor Akuntan Publik sebagai Entitas Bisnis
Gagasan bisnis kontemporer sebagai institusi sosial dikembangkan berdasarkan pada persepsi yang menyatakan bahwa bisnis bertujuan untuk memperoleh laba. Persepsi ini diartikan secara jelas oleh Milton Friedman yang mengatakan bahwa tanggung jawab bisnis yang utama adalah menggunakan sumber daya dan mendesain tindakan untuk meningkatkan laba mengikuti aturan main bisnis. Dengan demikian, bisnis tidak seharusnya diwarnai dengan penipuan dan kecurangan. Pada struktur utilitarian diperbolehkan melakukan aktivitas untuk memenuhi kepentingan sendiri. Untuk memenuhi kepentingan pribadi, setiap individu memiliki cara tersendiri yang berbeda dan terkadang saling berbenturan satu sama lain. Menurut Smith, mengejar kepentingan pribadi diperbolehkan selama tidak melanggar hukum dan keadilan atau kebenaran. Bisnis harus diciptakan dan diorganisasikan dengan cara yang bermanfaat bagi masyarakat.
Sebagai entitas bisnis layaknya entitas-entitas bisnis lain, Kantor Akuntan Publik juga dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan hanya dalam bentuk “uang” dengan jalan memberikan sumbangan, melainkan lebih kompleks lagi.  Artinya, pada Kantor Akuntan Publik juga dituntut akan suatu tanggung jawab sosial kepada masyarakat. Namun, pada Kantor Akuntan Publik bentuk tanggung jawab sosial suatu lembaga bukanlah pemberian sumbangan atau pemberian layanan gratis. Tapi meliputi ciri utama dari profesi akuntan publik terutama sikap altruisme, yaitu mengutamakan kepentingan publik dan juga memperhatikan sesama akuntan publik dibanding mengejar laba.
3.   Krisis dalam Profesi Akuntansi
Krisis dalam Profesi akuntan publik di Indonesia diperkirakan akan terjadi dalam sepuluh tahun ke depan, disebabkan karena semakin minimnya SDM akibat kurangnya minat generasi muda terhadap profesi tersebut.
Berdasarkan data Ikatan Akuntan Publik (IAI), sedikitnya 75% akuntan publik yang berpraktek di Indonesia berusia di atas 55 tahun. Kondisi ini, tentunya akan mengancam eksistensi profesi akuntan publik di Tanah Air karena tidak ada regenerasi kepada kaum muda. Padahal, seiring dengan semakin berkembangnya pertumbuhan industri di Indonesia, jasa akuntan semakin dibutuhkan. Apabila keadaan ini tidak bisa diatasi, maka diperkirakan dalam sepuluh tahun ke depan, profesi akuntan terancam mati. Padahal semakin ke depan profesi ini akan sangat menjanjikan karena pesatnya pertumbuhan industri. Pelaksanaan ekonomi di negeri ini ditunjang fungsi akuntan publik oleh karena itupemerintah mendesak RUU Akuntan Publik guna segera disahkan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat).
Melalui RUU akuntan publik ini, negara ingin mengatur peran dan bagaimana akuntan publik bekerja. Pasalnya, saat ini terjadi ketimpangan dalam dunia akuntan publik. Dari 16 ribu perusahaan yang selalu diaudit shatiap tahun, 70 persennya hanya diaduit oleh 4 akuntan publik. Sisanya lebih dari 400 akuntan publik dan 600 orang akuntan bekerja.
Undang Undang itu juga mengatur bagaimana profesi akuntan itu bisa mendapatkan perhatian dan pembinaan, mulai dari ijin, menentukan standar akuntansi juga mengawasi kode etik.Izin akuntan publik tetap dari pemerintah, dan kemudian nantinya akan ada sebuah komite yang dibentuk yang terdiri dari perwakilan pemerintah, asosiasi, dan emiten yang akan mengawasi dan membina dalam pelaksanaan pekerjaan akuntan publik.
Dengan undang-undang ini juga diharapkan setiap akuntan publik bisa bekerja secara profesional. Kedepannya Kementerian Keuangan, dalam hal ini adalah Direktorat Jenderal Pajak mempercayakan audit laporan keuangan perusahaan itu kepada akuntan publik. Jadi nantinya bagi setiap wajib pajak yang laporan keuangannya sudah diaudit oleh akuntan publik dan statusnya baik, maka laporan keuangan itu tidak akan diperiksa lagi oleh Ditjen Pajak karena  akuntan publik dipercaya mampu dan dapat memberikan laporan yang benar  sehingga dengan demikian Ditjen Pajak hanya tinggal berfokus pada perusahaan yang memang bermasalah.
 4.   Regulasi dalam rangka Penegakan Etika Kantor Akuntan Publik
Setiap orang yang melakukan tindakan yang tidak etis maka perlu adanya penanganan terhadap tindakan tidak etis tersebut. Tetapi jika pelanggaran serupa banyak dilakukan oleh anggota masyarakat atau anggota profesi maka hal tersebut perlu dipertanyakan apakah aturan-aturan yang berlaku masih perlu tetap dipertahankan atau dipertimbangkan untuk dikembangkan dan disesuaikan dengan perubahan dan perkembangan lingkungan.
Secara umum kode etik berlaku untuk profesi akuntan secara keselurahan kalau melihat kode etik akuntan Indonesia isinya sebagian besar menyangkut profesi akuntan publik. Padahal IAI mempunyai kompartemen akuntan pendidik, kompartemen akuntan manajemen disamping kompartemen akuntan publik. Perlu dipikir kode etik yang menyangkut akuntan manajemen, akuntan pendidik, akuntan negara (BPKP, BPK, pajak).
Kasus yang sering terjadi dan menjadi berita biasannya yang menyangkut akuntan publik. Kasus tersebut bagi masyarakat sering diangap sebagai pelanggaran kode etik, padahal seringkali kasus tersebut sebenarnya merupakan pelanggaran standar audit atau pelanggaran terhadap SAK.
Terlepas dari hal tersebut diatas untuk dapat melakukan penegakan terhadap kode etik ada beberapa hal yang harus dilakukan dan sepertinya masih sejalan dengan salah satu kebijakan umum pengurus IAI periode 1990 s/d 1994yaitu :
1)         Penyempurnaan kode etik yang ada penerbitan interprestasi atas kode etik yang ada baik sebagai tanggapan atas kasus pengaduan maupun keluhan dari rekan akuntan atau masyarakat umum. Hal ini sudah dilakukan mulai dari seminar pemutakhiran kode etik IAI, hotel Daichi 15 juni 1994 di Jakarta dan kongres ke-7 di Bandung dan masih terus dan sedang dilakukan oleh pengurus komite kode etik saat ini.
2)         Proses peradilan baik oleh badan pengawas profesi maupun dewan pertimbangan profesi dan tindak lanjutnya (peringatan tertulis, pemberhentian sementara dan pemberhentian sebagai anggota IAI).
3)      Harus ada suatu bagian dalam IAI yang mengambil inisiatif untuk mengajukan pengaduan baik kepada badan pengawasan profesi atas pelanggaran kode etik meskipun tidak ada pengaduan dari pihak lain tetapi menjadi perhatian dari masyarakat luas.
Perkembangan Terakhir dalam Etika Bisnis dan Profesi
Dalam pandangan saya, pengertian etik tersebut sudah melewati empat tahap atau fase perkembangan generasi pengertian, yaitu
1.      fase pengertian teologis (etika teologis)
2.      fase pengertian ontologis (etika ontologis)
3.      fase pengertian positivis (etika positivist)
4.      fase pengertian fungsional (etika fungsional).”
1.Etika Teologis
Pada perkembangan generasi pengertian pertama, semua sistem etika berasal dari sistem ajaran agama.Semua agama mempunyai ajaran-ajarannya sendiri-sendiri tentang nilai-nilai, sikap, dan perilaku yang baik dan buruk sebagai pegangan hidup bagi para penganutnya.Karena itu, ajaran etika menyangkut pesan-pesan utama misi keagamaan semua agama, dan semua tokoh agama atau ulama, pendeta, rahib, monk, dan semua pemimpin agama akrab dengan ajaran etika itu.Semua rumah ibadah diisi dengan khutbah-khutbah tentang ajaran moral dan etika keagamaan masing-masing.
Bagi agama-agama yang mempunyai kitab suci, maka materi utama kitab-kitab suci itu juga adalah soal-soal yang berkaitan dengan etika.Karena itu, perbincangan mengenai etika seringkali memang tidak dapat dilepas dari ajaran-ajaran agama. Bahkan dalam Islam dikatakan oleh nabi Muhammad saw bahwa “Tidaklah aku diutus menjadi Rasul kecuali untuk tujuan memperbaiki akhlaq manusia”. Inilah misi utama kenabian Muhammad saw.
2.Etika Ontologis
Dalam perkembangan kedua, sistem etika itu lama kelamaan juga dijadikan oleh para filosof dan agamawan sebagai objek kajian ilmiah.Karena filsafat manusia sangat berkembang pembahasannya mengenai soal-soal etika dan perilaku manusia ini.Karena itu, pada tingkat perkembangan pengertian yang kedua, etika itu dapat dikatakan dilihat sebagai objek kajian ilmiah, objek kajian filsafat.Inilah yang saya namakan sebagai tahap perkembangan yang bersifat ontologis.Etika yang semula hanya dilihat sebagai doktrin-doktrin ajaran agama, dikembangkan menjadi ‘ethics’ dalam pengertian sebagai ilmu yang mempelajari sistem ajaran moral.
3.Etika Positivist
Dalam perkembangan selanjutnya, setidaknya dimulai pada permulaan abad ke 20, orang mulai berpikir bahwa sistem etika itu tidak cukup hanya dikaji dan dikhutbahkan secara abstrak dan bersifat umum, tetapi diidealkan agar ditulis secara konkrit dan bersifat operasional. Kesadaran mengenai pentingnya penulisan dalam suatu bentuk kodifikasi ini dapat dibandingkan dengan perkembangan sejarah yang pernah dialami oleh sistem hukum pada abad ke-10 di zaman khalifah Harun Al-Rasyid atau dengan muncul pandangan filsafat Posivisme Auguste Comte pada abad ke 18 yang turut mempengaruhi pengertian modern tentang hukum positif.
Dalam perkembangan generasi ketiga ini, mulai diidealkan terbentuknya sistem kode etika di pelbagai bidang organisasi profesi dan organisasi-organisasi publik. Bahkan sejak lama sudah banyak di antara organisasi-organisasi kemasyarakatan ataupun organisasi-organisasi profesi di Indonesia sendiri, seperti Ikatan Dokter Indonesia, dan lain-lain yang sudah sejak dulu mempunyai naskah Kode Etik Profesi. Dewasa ini, semua partai politik juga mempunyai kode etik kepengurusan dan keanggotaan.Pegawai Negeri Sipil juga memiliki kode etika PNS.Inilah taraf perkembangan positivist tentang sistem etika dalam kehidupan publik.Namun, hampir semua kode etik yang dikenal dewasa ini, hanya bersifat proforma.Adanya dan tiadanya tidak ada bedanya.Karena itu, sekarang tiba saatnya berkembang kesadaran baru bahwa kode etika-kode etika yang sudah ada itu harus dijalankan dan ditegakkan sebagaimana mestinya.
4.Etika Fungsional Tertutup
Tahap perkembangan generasi pengertian etika yang terakhir itulah yang saya namakan sebagai tahap fungsional, yaitu bahwa infra-struktur kode etika itu disadari harus difungsikan dan ditegakkan dengan sebaik-baiknya dalam praktik kehidupan bersama. Untuk itu, diperlukan infra-struktur yang mencakup instrumen aturan kode etik dan perangkat kelembagaan penegaknya, sehingga sistem etika itu dapat diharapkan benar-benar bersifat fungsional. Dimana-mana di seluruh dunia, mulai muncul kesadaran yang luas untuk membangun infra struktur etik ini di lingkungan jabatan-jabatan publik. Bahkan pada tahun 1996, Sidang Umum PBB merekomendasikan agar semua negara anggota membangun apa yang dinamakan “ethics infra-structure in public offices” yang mencakup pengertian kode etik dan lembaga penegak kode etik.
Itu juga sebabnya maka di Eropa, di Amerika, dan negara-negara lain di seluruh penjuru dunia mengembangkan sistem kode etik dan komisi penegak kode etik itu. Tidak terkecuali kita di Indonesia juga mengadopsi ide itu dengan membentuk Komisi Yudisial yang dirumuskan dalam Pasal 24B UUD 1945 dalam rangka Perubahan Ketiga UUD 1945 pada tahun 2001. Bersamaan dengan itu, kita juga membentuk Badan Kehormatan DPR, dan Badan Kehormatan DPD, dan lain-lain untuk maksud membangun sistem etika bernegara. Pada tahun 2001, MPR-RI juga mengesahkan Ketetapan MPR No. VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
5.Etika Fungsional Terbuka
Namun demikian, menurut Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu 2012-2017 ini, semua infra-struktur kode etik dan sistem kelembagaan penegakan etika tersebut di atas dapat dikatakan sama sekali belum dikonstruksikan sebagai suatu sistem peradilan etika yang bersifat independen dan terbuka sebagaimana layaknya sistem peradilan modern. Persoalan etika untuk sebagian masih dipandang sebagai masalah private yang tidak semestinya diperiksa secara terbuka. Karena itu, semua lembaga atau majelis penegak kode etika selalu bekerja secara tertutup dan dianggap sebagai mekanisme kerja yang bersifat internal di tiap-tiap organisasi atau lingkungan jabatan-jabatan publik yang terkait. Keseluruhan proses penegakan etika itu selama ini memang tidak dan belum didesain sebagai suatu proses peradilan yang bersifat independen dan terbuka.
Sumber  :
·        Abdullah, Syukry dan Abdul Halim. 2002. Pengintegrasian Etika dalam Pendidikan dan Riset Akuntansi . Kompak, STIE YO.
·        Sukrisno Agoes. 1996. Penegakkan Kode Etik Akuntan Indonesia. Makalah dalam Konvensi Nasional Akuntansi III. IAI
·        Tessy Octoviana. 2001. “Pemahaman Kode Etik Akuntan”. Jakarta.
·        Agoes, Sukrisno. 1996. Auditing. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
·        Mulyadi. 2002. Auditing. Jakarta: Salemba Empat